21 Jun 2010

Siapa Wali Nikahmu?

Pagi yang cerah, secerah senyum di wajah kedua calon pengantin yang pagi itu akan segera dinikahkan. Tepat pukul sembilan, mempelai pria beserta rombongan tiba di kediaman mempelai wanita. Lima belas menit kemudian sang penghulu pun datang. Pukul setengah sepuluh, dengan disaksikan puluhan tamu undangan, prosesi ijab qabul pun dimulai.

Diawali dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, dilanjutkan dengan sambutan dari perwakilan keluarga kedua mempelai, acara pun berjalan lancar dan khidmat. Aku yang dipercaya shahibul hajat untuk mengabadikan momen bersejarah itu sudah sejak awal berada di ruang utama berbekal sebuah kamera digital.

Pukul sepuluh acara sampai pada intinya. Sebelum menikahkan kedua calon pengantin, pak penghulu yang pagi itu hanya datang sendiri, kembali memeriksa berkas-berkas yang dibawanya dari kantor KUA. Diperiksanya dengan teliti, dicocokkan data yang tertera dalam dokumen dengan pihak-pihak yang berkepentingan. Saat memeriksa data kedua calon pengantin, semua berjalan lancar. Tapi suasana mulai berubah ketika pak penghulu menanyakan keberadaan wali. Ayah kandung mempelai wanita tidak bisa hadir saat itu untuk menjadi wali. Yang ada saat itu adalah ayah tiri dan kakak kandung laki-laki dari mempelai wanita. Sebagai gantinya, ayah kandung telah mengisi surat pernyataan yang sudah disediakan pihak KUA. Namun sayang, ada beberapa poin penting yang justru tidak diisi. Dalam surat pernyataan tersebut tidak disebutkan secara jelas siapa yang ditunjuk sebagai wali, apakah kakak kandung mempelai wanita ataukah ada pihak lainnya. Dan siapa yang menjadi saksi saat surat pernyataan tersebut dibuat juga tidak dicantumkan, apalagi ditandatangani.

Susana berubah menjadi tegang. Senyum yang sejak pagi menghias di wajah kedua mempelai perlahan menghilang. Sang mempelai wanita tertunduk pucat, sementara mempelai pria resah. Pak penghulu tidak mau menikahkan mereka karena beranggapan bahwa ada syarat-syarat yang tak terpenuhi.

Seorang pria tampil ke tengah, mendekati meja di mana penghulu sedang memeriksa berkas pernikahan. “Seminggu yang lalu saya sudah memastikan kepada asisten Bapak di kantor KUA, katanya semua persyaratan sudah lengkap. Mengapa sekarang dipermasalahkan?“ kata pria yang dipercaya pihak keluarga untuk mengurus semua persyaratan pernikahan ke kantor KUA ini dengan nada meninggi. Pria tersebut juga menyebut nama seorang wanita yang sepertinya bertugas memeriksa seluruh persyaratan kedua calon pengantin. Dari nada bicara dan raut muka sang pria, aku menangkap kesan bahwa pria ini mencurigai ada ‘kesengajaan’ dari pihak KUA, demi sebuah keuntungan pribadi mereka. Beberapa tamu pun sepertinya memiliki dugaan yang sama.

Suasana benar-benar tegang. Beberapa tamu yang semula duduk menyaksikan prosesi pernikahan dari jarak cukup jauh, mendekat ke ruang utama. Kedua belah pihak keluarga gelisah, terlebih kedua calon pengantin. Dengan tenang, pak penghulu memberikan penjelasan mengapa saat itu beliau belum bersedia menikahkan.

“Mewakili asisten saya, saya mohon maaf atas permasalahan ini, saya berjanji akan menegurnya nanti. Sebenarnya saya tidak ingin mempersulit pernikahan ini, karena pada dasarnya persyaratan untuk menikah itu mudah. Namun saya juga mohon agar hal yang mudah itu jangan dianggap sepele,“ pak penghulu mencoba memberikan pengertian kepada kedua calon pengantin, pihak keluarga, dan seluruh hadirin yang terlihat tegang sekali.

Dengan nada tenang dan berwibawa, selanjutnya pak penghulu menjelaskan dengan gamblang bahwa salah satu syarat pernikahan adalah harus adanya wali. Beliau menjelaskan siapa saja yang berhak menjadi wali, urutan-urutannya, dan bagaimana tata caranya apabila sang wali berhalangan hadir dan memberikan kuasa (mewakilkan), baik kepada orang-orang yang termasuk dalam daftar wali ataupun kepada pihak lain di luar mereka yang termasuk dalam daftar wali. Dan, mengantisipasi hal tersebut, pihak KUA sudah menyediakan sebuah formulir yang harus diisi. Form ini jelas bukan sekedar pelengkap administrasi belaka, tapi memiliki kekuatan hukum, baik menurut agama maupun negara. Itulah makanya form ini harus diisi dengan jelas dan lengkap. Dan, bukan hendak berburuk sangka, tapi pak penghulu merasa harus tetap berhati-hati dan tidak segera melanjutkan acara meskipun pihak keluarga mempelai wanita memberikan berbagai penjelasan.

Melihat suasana semakin tegang, dengan bijaksana pak penghulu kemudian menanyakan apakah saat itu ayah kandung mempelai wanita bisa dihubungi melalui telepon. Beruntung, hal itu bisa dilakukan. Melalui telepon, akhirnya pak penghulu berbicara langsung dengan sang ayah kandung mempelai wanita. Semua data kembali dicek melalui pembicaraan telepon, termasuk siapa yang akan ditunjuk sebagai wali menggantikannya. Suara telepon yang sengaja dikeraskan itu bisa didengar oleh seluruh hadirin yang datang pagi itu. Singkatnya, ayah kandung kemudian memilih pak penghulu untuk mewakilinya menjadi wali untuk pernikahan putrinya. Dan semua masalah pun menjadi jelas dan selesai. Lima belas menit kemudian ijab qabul pun selesai dilaksanakan, kedua calon mempelai telah resmi menjadi pengantin. Perasaan lega terlihat jelas di raut wajah kedua pengantin, keluarga, dan seluruh tamu yang hadir.

Satu pelajaran berharga kudapat pagi itu. Bahwa terkadang kita salah (kurang) memahami tentang syarat-syarat sebuah pernikahan. Ada yang menganggap bahwa untuk menikah harus mengurus persyaratan yang berat dan sulit, sehingga mereka enggan untuk mengurusnya dan lebih memilih menikah tanpa mencatatkan pernikahannya di kantor KUA. Atau ada juga yang menganggap kemudahan persyaratan menikah itu sebagai hal sepele, sehingga terkesan asal-asalan mengurusnya. Padahal yang sebaiknya adalah pernikahan itu syah menurut hukum agama juga hukum negara.

Apa yang dilakukan oleh penghulu yang tidak mau terburu-buru menikahkan kedua calon mempelai, menurutku adalah tindakan yang tepat dan bijak. Beliau sadar betul, bahwa setiap keputusan yang diambilnya akan diminta pertanggungjawabannya bukan saja pada hukum dunia, tapi juga kepada Allah SWT kelak. Sebagai perwakilan pihak pemerintah, ‘barangkali’ beliau bisa memaklumi ketidakpahaman masyarakat terhadap administrasi negara, tetapi sebagai muslim, jelas beliau tidak mau sembrono menikahkan jika salah satu persyaratan tidak terpenuhi.

Pengetahuan yang minim tentang hukum dan syarat-syarat sebuah pernikahan, kenyataannya masih kita jumpai di masyarakat. Pentingnya wali nikah terkadang kurang dipahami, sehingga muncul anggapan bahwa wali hakim dianggap solusi yang cepat dan tepat. Atau terkadang ada yang menunjuk wali secara asal, tidak mengikuti aturan agama yang sudah dengan jelas menyebutkan siapa saja yang berhak dan bagaimana urutan-urutannya, tidak bisa dan tidak boleh melewati tingkatan wali sebelumnya tanpa ada izin dan persetujuan dari yang bersangkutan.

Mari, kita berhati-hati lagi mempersiapkan sebuah pernikahan, karena sebuah pernikahan yang tidak syah menurut agama, akan menjerumuskan pelakunya pada perbuatan zina. Na'uzubillah! Semoga ini tidak terjadi pada kita dan keluarga kita.

* Tulisan ini sebelumnya sudah saya publikasikan di eramuslim  dan kotasantri


Gambar diambil dari: sini

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri