31 May 2010

Bukan Menantang Ujian

Malam semakin larut, sang istri dan putri tunggalnya sudah lama terlelap, tapi Ahmad (bukan nama sebenarnya) sama sekali belum bisa memejamkan matanya. Perdebatan si hitam dan si putih telah membuat kedua matanya sulit terpejam.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan ambil uang itu. Itu hakmu!” kembali si hitam mencoba mempengaruhi si putih.

“Tidak! Uang itu bukan hakku, tak mungkin aku mengambil hasil usaha riba untukku dan keluargaku!” jawab si putih tegas, sama seperti jawabnya beberapa hari yang lalu.

“Riba? Ha… ha… ha...!” si hitam tertawa mengejek. “Sekarang kau katakan riba, ke mana saja kau selama ini? Bukankah kau pernah terlibat dalam usaha itu, bahkan sampai sekarang pun kau masih harus membayar bunga juga hutang-hutangmu?” si hitam tersenyum sinis.

“Astaghfirullah! Benar, aku pernah terlibat dalam usaha itu, bahkan sekarang pun aku masih harus membayar hutang beserta bunga-bunganya. Itu khilafku, dan itu kulakukan karena terpaksa. Meski belum bisa sepenuhnya kutinggalkan, namun aku harus mulai meninggalkannya satu per satu dari sekarang!” si putih memberikan alasan.

“Yakin, kamu bisa? Bukankah selama ini kau tak pernah bisa lepas dari lilitan hutang?” tanya si hitam semakin sinis.

“Insya Allah!” jawab si putih mantap. “Kalaupun aku harus (kembali) berhutang, aku akan mencari pinjaman yang halal,“ lanjutnya.

“Kau memang egois! Kau hanya memikirkan dirimu sendiri. Coba kau lihat istri dan anakmu, bukankah saat ini kau sedang membutuhkan banyak biaya untuk berobat istrimu? Dan satu lagi, bukankah kau punya banyak janji kepada anakmu yang belum kau tepati? Sudahlah, ambil saja uang itu dan kau bisa membiayai pengobatan istrimu sekaligus menepati janji-janjimu pada putri kesayanganmu. Perhatikan wajah-wajah polos mereka saat tertidur, tegakah kau korbankan mereka hanya demi prinsipmu?“ si hitam coba mempengaruhi si putih. Ia tahu persis bahwa istri dan anak adalah senjata yang ampuh untuk melemahkan si putih. Tapi lagi-lagi ia harus menelan pil pahit, karena ternyata si putih tetap pada pendiriannya.

“Aku tidak mementingkan egoku, justru semua ini kulakukan demi mereka, masa depan mereka. Aku sadar bahwa untuk kesembuhan istriku, aku membutuhkan banyak biaya. Dan sampai saat ini aku juga belum bisa menepati janjiku pada putri tercintaku. Tapi bukan berarti aku harus menghalalkan segala cara. Aku akan meminta bantuan saudara dan sahabatku untuk biaya pengobatan istriku. Dan soal janjiku, anakku tak keberatan jika harus ditunda lagi. Jangan coba-coba mempengaruhiku!” jawab si putih tegas.

“Meminta bantuan saudara? Sahabat? Jelas kan kalau kau masih mengandalkan orang lain?”

“Aku pasrahkan segala urusanku pada Allah, termasuk memohon bantuanNya. Dan melalui orang-orang itulah Allah memberikan bantuan padaku. Dengan pertolongan Allah, aku yakin dapat melewati ujian ini dengan baik seperti yang datang sebelumnya.”

“Oh… kau terlalu sombong. Kau menantang ujian tuhan?”

“Astaghfirullah! Aku tidak menantang ujian. Bagaimana pun aku hanyalah seorang hamba yang tiada daya dan tiada upaya. Tanpa pertolongan Allah, tak mungkin aku mampu melewati ujian demi ujian. Aku bukan menantang datangnya ujian berikutnya. Aku hanya berusaha ikhlas dengan setiap ujian yang datang. Aku hanya berusaha tetap sabar dan sadar bahwa ujian apa pun yang diberikan, sesungguhnya atas izin dan kehendak Allah. Juga Allah telah mengukurnya untukku. Sudahlah, tak usah buang tenaga dan waktu. Aku sudah mantap untuk tidak mengambil uang itu. Aku akan minta kepada Allah agar menggantikannya dengan rejeki yang halal dan barokah.”

Si hitam terdiam putus asa, berkali-kali dia berusaha melemahkan si putih, tapi tetap saja si putih teguh pada pendiriannya. Akhirnya si hitam pun menyerah, dan perdebatan pun berakhir dengan kemenangan si putih kembali.

***

Ahmad menatap lekat-lekat pada wajah-wajah polos yang kini terlelap di sampingnya. Tenang dan damainya mereka, seakan tiada beban. Diusapnya bulir bening yang menggenang di sudut matanya. Ia mengulang do'a tidurnya sekali lagi. Terakhir dia masih melihat jam dinding, semua jarumnya bertumpuk tepat di angka 12. Dan Ahmad pun kemudian terlelap hingga bunyi alarm membangunkannya tepat pukul 02.00. Seperti malam sebelumnya, dia bangun mengambil air wudhu, shalat, dan mengadukan semua bebannya pada Allah SWT.

Catatan : Si Hitam = Nafsu, Si Putih = Iman. Dan memang benar, musuh terdekat dan terbesar manusia adalah nafsunya.

Tulisan ini sebelumnya pernah saya publikasikan di eramuslim dan kotasantri
Sumber gambar

Featured post

Sebab Cinta Tak Harus Menangis

“ Aku bangga pada kalian. Kesabaran, ketegaran dan juga ketabahan kalian. Pertahankan, karena hidup harus tetap berjalan! “ sebuah sms mas...

 
© Copyright 2035 Ruang Belajar Abi
Theme by Yusuf Fikri